Halaman

jam

Selasa, 06 November 2012

Fakta dan Mitos: Ultras, Kekerasan dan Rasisme

#Fakta dan Mitos: Ultras, Kekerasan dan Rasisme (bagian kedua dari tiga tulisan Pengantar: Ini bagian kedua dari tiga artikel tentang klutur Ultras di persepakbolaan Italia. Bagian kedua ini akan mengulas tentang distorsi, ekses dan kesalahpahaman pengertian tentang Ultras. Merupakan kelanjutan dari bagian pertama, “Ultras, A Way of Life”. Bagian ketiga, “Irriducibili Tak Pernah Mati” akan secara khusus mengulas lahir, berkembang dan bubarnya kelompok Ultras paling fenomenal di Italia, Irriducibili Lazio. Meskipun demikian, masing-masing bagian artikel dapat dibaca secara mandiri. ***** Dalam perkembangannya, sikap, nilai-nilai dan mentalitas Ultras ini (lihat bagian pertama), mengalami distorsi pada penerapannya. Distorsi ini terjadi di dua ranah. Di kalangan Ultras sendiri, distorsi perilaku Ultras menyebabkan timbulnya ekses yang tidak diinginkan. Di kalangan pengamat, ekses tersebut berujung pada generalisasi Ultras dan pencampuradukan antara Ultras dengan fenomena lain yang sebetulnya tidak berkaitan. Timbullah mitos-mitos menyesatkan tentang Ultras. Media berbahasa Inggris, yang lebih menguasai dunia dibandingkan media berbahasa Italia, memiliki andil sangat besar dalam penyebarluasan mitos-mitos ini. Fenomena yang terjadi di Inggris dikaitkan secara naif dengan pengamatan dan pengalaman terhadap hal-hal eksesif yang terjadi di persepakbolaan Italia. Mitos Pertama: Ultras Identik dengan Kekerasan Hingga awal tahun delapanpuluhan, gerakan Ultras di persepakbolaan Italia cukup mengundang decak kagum dunia. Nilai dan mentalitas yang menjunjung tinggi kehormatan, totalitas, loyalitas dan solidaritas (serta independensi) di kalangan Ultras memberi nilai tambah pada sepakbola itu sendiri. Sepakbola tidak lagi sekedar olahraga dan pertunjukkan kebolehan pemain di lapangan, tetapi juga melibatkan puluhan ribu penonton di tribun stadion. Pertunjukan tidak lagi berakhir setelah peluit panjang wasit berakhir, tetapi berlanjut pada kehidupan sehari-hari. Sepakbola telah menjadi sebuah ekspresi spiritual. Kekerasan antar-Ultras memang tidak terhindarkan. Sesekali terjadi konflik antara pendukung yang berujung pada kekerasan. Tetapi kekerasan memang dapat saja terjadi, di kalangan Ultras atau bukan, di sepakbola atau di aspek kehidupan lain, di komunitas manapun, di negara manapun. Dan sejauh itu, ekses Ultras ini hanya terjadi di Italia, belum lagi menyentuh ke luar batas negara. Ultras mengalami masa keemasan. Seiring booming sepakbola Italia, klub-klub Italia secara masif bersentuhan dengan sepakbola Eropa. Di sinilah bencana berawal. Tahun 1977 kelompok-kelompok kecil pendukung AS Roma membentuk Commando Ultra Curva Sud (CUCS), sebuah kelompok Ultras yang tertata rapi dan terorganisasi. Awal tahun 1982 kelompok ini terbagi dalam beberapa faksi yang tak terkendali. Mereka inilah yang bertanggung jawab terhadap runtuhnya citra Ultras. Diawali dengan terbunuhnya pendukung Lazio, Vicenzo Paparelli, pada derby 1979 oleh pendukung AS Roma. Tahun 1984, lusinan pendukung Liverpool mengalami penikaman usai Liverpool mengalahkan AS Roma di final European Cup, bahkan juga terhadap pendukung Liverpool dari kalangan keluarga yang sedang berjalan kembali menuju hotel, termasuk seorang bocah 13 tahun. Kejadian inilah yang menjadi katalis terjadinya tragedi Heysel setahun kemudian, dan yang menjadi korban tak berdosa dari aksi balas dendam ini adalah pendukung Juventus. Februari 2001, 14 pendukung Liverpool kembali mengalami penikaman saat Liverpool bertanding melawan AS Roma di laga UEFA Cup. Desember 2001, 5 pendukung Liverpool mengalami hal yang sama saat kedua tim bertemu di laga Liga Champions. Tahun 2006, 13 pendukung Middlesborough mengalami luka serius, 3 di antaranya ditikam, saat kedua tim bertemu di laga UEFA Cup. Tahun 2007, 13 pendukung Manchester United luka parah, 3 di antaranya ditikam, pada laga Liga Champions. Dua tahun kemudian giliran seorang pendukung Arsenal yang mengalami hal yang sama. Semua terjadi di kota Roma dan dilakukan oleh pendukung AS Roma. Media Inggris segera menjuluki Roma sebagai “Stab City” (kota penikaman), dan melakukan generalisasi terhadap semua kelompok Ultras di Italia. Mereka menyamakan Ultras Italia dengan kelompok perusuh sepakbola Inggris, hooligans. Padahal, sesungguhnya, Ultras bertolak belakang dengan hooliganisme. Ultras bertujuan mendukung klubnya, sedang hooligans bertujuan menyerang pendukung lawan. Ultras terorganisasi, bangga dengan identitas klubnya dan mengenakannya setiap saat, sedangkan hooligans tidak terorganisasi dan cenderung menyamarakan identitasnya.. Apa daya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Akibat kejadian-kejadian di atas, kini Ultras Italia selalu diidentikkan dengan kekerasan. Mitos Kedua: Ultras Identik dengan Rasisme Ultras tidak steril terhadap politik. Justru latar belakang sosial dan politik tertentulah yang menjadi pengikat terkuat sebuah kelompok Ultras. Ultras yang “beraliran” kanan seperti pendukung Lazio, Internazionale atau Hellas Verona sangat kental dengan paham kekananan ini. Maka rasisme muncul, meskipun dalam kelompok-kelompok kecil dan minoritas. Dari kelompok-kelompok minoritas ini pun, hanya sebagian kecil yang intinya benar-benar kebencian terhadap ras berbeda, lainnya hanyalah ekspresi bodoh fans untuk menjatuhkan mental lawan. Yang disebut belakangan tadi sangat jelas terlihat, saat mereka mengekspresikan tindakan “rasis” terhadap pemain berkulit hitam dari pihak lawan, tetapi justru memberikan dukungan bagi pemain berkulit hitam dari klub sendiri. Kesalahpahaman lain muncul dengan menyamakan paham fasisme dengan rasisme, padahal keduanya adalah dua hal yang sangat berbeda. Di kalangan kanan Italia, masih sangat kuat mengalir paham fasisme yang dicetuskan oleh Benito Mussolini menjelang Perang Dunia Kedua. Fasisme adalah paham yang ultra-nasionalis, anti-liberalisme, anti-komunisme, menentang investasi asing dan penjualan aset Italia (termasuk klub) ke investor non-Italia. Mussolini dan Hitler sama-sama fasis, tetapi berlainan dengan Hitler, Mussolini tidak rasis. Dua kesalahpahaman inilah yang menimbulkan mitos bahwa, misalnya, Ultras Lazio adalah rasis. Media Inggris berpatokan pada dicemoohkannya Fabio Liverani di awal karirnya di Lazio oleh pendukung Lazio sendiri. Padahal, perlakuan itu diterima Liverani karena, sebelum bergabung dengan Lazio, dia pernah secara terbuka mengatakan dirinya fans AS Roma, bukan karena Liverani berkulit hitam. Antonio Candreva mengalami hal yang sama akibat rumor dirinya pendukung AS Roma di masa remaja. Padahal Candreva berkulit putih. Mundingayi, Dabo, Manfredini, Diakite, Makinwa, Cisse, Konko, Cavanda, Onazi dan pemain berkulit hitam Lazio lainnya tak pernah mengalami perlakuan rasis dari pendukungnya sendiri. Salam Paolo Di Canio yang mengangkat tangan kanannya sebagai selebrasi golnya, disalahartikan oleh media Inggris sebagai salam ala Hitler yang rasis. Padahal salam itu sesungguhnya adalah salam khas Romawi yang dijiplak Hitler, yang merasa dirinya setara kaisar Romawi. Di Canio menegaskan, bahwa dirinya memang fasis, tetapi bukan rasis. Jadi Ultras memang memegang teguh kehormatan, totalitas, loyalitas, solidaritas dan independensi. Tetapi Ultras sejati adalah anti-kekerasan dan anti-rasisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar